ALAT BUKTI SAKSI DALAM PERSIDANGAN
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Kesaksian
adalah Kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa
yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh
orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang di panggil di
persidangan. Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah
kejadian yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang
diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.
Saksi
dipanggil dimuka sidang untuk memberi tambahan keterangan untuk menjelaskan
peristiwanya, sedangkan seorang ahli dipanggil untuk membantu hakim dalam
menilai peristiwanya. Mengenai alat bukti kesaksian, diatur dalam :
1. HIR : Pasal
139 – 152, 168 – 172
2. Rbg : Pasal 165 – 179
3. BW : Pasal 1902 – 1912
Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal
1895 KUH Perdata yang berbunyi ”pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan
dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Jadi
prinsipnya, alat bukti saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa
perdata, kecuali apabila UU sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan
dengan akta, barulah alat bukti saksi tidak dapat diterapkan.
Alat bukti saksi yang diajukan pada pihak menurut Pasal 121
ayat (1) HIR merupakan kewajiban para pihak pihak yang berperkara. Akan tetapi
apabila pihak yang berkepentingan tidak mampu menghadirkan secara sukarela,
meskipun telah berupaya dengan segala daya, sedang saksi yang bersangkutan
sangat relevan, menurut Pasal 139 ayat (1) HIR hakim dapat menghadirkannya
sesuai
dengan tugas dan kewenangannya, yang apabila tidak dilaksanakan merupakan tindakan unproffesional conduct.
dengan tugas dan kewenangannya, yang apabila tidak dilaksanakan merupakan tindakan unproffesional conduct.
2. RUMUSAN MASALAH
a.
Apa Pengertian Alat Bukti
Saksi?
b.
Orang
yang Tidak Dapat di Dengar (di Tolak) Sebagai Saksi?
c.
Bagaimana Hukumnya jika Saksi
yang di Panggil Tidak Mau Datang dalam Persidangan?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Saksi
Saksi
ialah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi
syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat,
dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan
tersebut. Bukti saksi diatur dalam pasal 168 – 172 HIR. Dalam pengertianya, saksi merupakan orang yang mendengar,
melihat, dan mengalami suatu peristiwa hukum yang merupakan syarat materiil
saksi sebagai suatu alat bukti. Seperti apa yang dituangkan dalam Pasal
171 HIR, Pasal 1907 KUH Perdata bahwa keterangan saksi yang diberikan harus
berdasarkan sumber pengetahuan yang jelas, dimana sumber pengetahuan yang
dibenarkan hukum mesti merupakan pengalaman, penglihatan, dan pendengaran yang
bersifat langsung dari kejadian atau peristiwa yang terjadi yang di sengketakan
para pihak di pengadilan.
Namun, dalam praktek yang senyatanya
tidak jarang seorang saksi yang bersaksi atas sumber atau cerita dari keterangan
yang disampaikan orang lain. Keterangan yang seperti ini tentu bertentangan
atau tidak sejalan dengan apa yang telah diatur dalam Pasal 171 HIR dan 1907
KUH Perdata. Sehingga, keterangan saksi yang bersumber dari keterangan orang
lain dikatakan keterangan yang hanya berkualitas sebagai testimonium de
auditu, yaitu keterangan seorang saksi yang hanya bersumber atau berdasar
pada keterangan yang didapatkan dari orang lain tanpa mendengar, melihat, dan
mengalami peristiwa hukumnya.
Keterangan saksi de auditu
pada hakekatnya tidak dapat dikatakan sebagai alat bukti karena syarat materiil
sebagai saksi tidak terpenuhi sehingga tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna dan mengikat, namun dalam prakteknya saksi de auditu juga dapat
di pertimbangkan keteranganya atau dapat diakui secara eksepsional, seperti
contoh dalam Putusan MA No. 239 K/Sip/1973. Dalam kasus tersebut, baik PN, PT,
dan MA membenarkan kesaksian de auditu sebagai suatu alat bukti dengan
pertimbangan sebagai berikut :
“Bahwa
keterangan saksi-saksi diatas pada umumnya adalah menurut pesan, tetapi haruslah
pula dipertimbangkan bahwa hampir semua kejadian atau perbuatan atau peristiwa
hukum yang terjadi dahulu tidak mempunyai surat, tetapi adalah berdasarkan pesan
turun-temurun, sedangkan saksi-saksi yang langsung menghadapi perbuatan hukum
itu dulunya tidak ada lagi yang diharapkan hidup sekarang, sehingga dalam hal
demikian pesan turun-temurun itulah yang dapat diharapkan sebagai keterangan
dan menurut pengetahuan Hakim Majelis sendiri pesan-pesan seperti ini oleh masyarakat
Batak pada umumnya di anggap berlaku dan benar;
- dalam pada itu harus pula diperhatikan tentang dari siapa pesan itu diterima dan orang yang memberi keterangan bahwa dialah yang menerima pesan tersebut;
- oleh karena itu, dari sudut inilah dinilai keterangan saksi-saksi tersebut.
Dalam putusan diatas, pengecualian terhadap saksi de
auditu dilakukan karena saksi yang diharapkan dapat menjadi sumber
terpercaya karena mengalami sendiri peristiwanya, sudah tidak ada lagi atau
meninggal dunia padahal peristiwa hukum tersebut tidak di abadikan dalam bentuk
tulisan dalam bentuk surat atau semacamnya, disisi lain saksi yang memberikan
keterangan mendapat pesan dari pelaku yang melakukan peristiwa hukumnya secara
langsung sehingga dalam putusan ini, MA membenarkan keterangan dari saksi de
auditu dengan syarat saksi de auditu tersebut harus terdiri dari
beberapa orang yang keteranganya saling berhubungan satu sama lainya.
Ada 3 kewajiban bagi seseorang yang
dipanggil sebagai saksi, yaitu :
1.
Kewajiban
untuk menghadap (Pasal 140, 141 HIR, Pasal 166, 167 Rbg)
2.
Kewajiban
untuk bersumpah (Pasal 147 HIR, Pasal 175 Rbg, Pasal 1911 BW jo. 4 St. 1920
No.69).
Sumpah promissoir adalah sumpah yang diucapkan
sebelum memberi kesaksian dan berisi janji untuk menerangkan yang sebenarnya .
Sumpah confirmatoir adalah sumpah sebagai alat bukti.
3.
Kewajiban
untuk memberi keterangan. Berdasarkan Putusan PN Cianjur No. 108/Pdt/1969,
tanggal 27 Januari 1970, menyatakan bahwa hakim karena jabatannya dapat
memanggil saksi-saksi yang tidak diajukan oleh para pihak.
Syarat Formil dan Syarat Materiil
Saksi
Syarat Formil
- Orang yang dimintai keteranganya sebagai saksi harus cakap (sudah dewasa menurut UU, tidak gila, tidak dalam pengampuan, / dengan kata lain dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya);
- Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah maupun semenda dengan salah satu pihak, kecuali UU menentukan lain, termasuk hubungan perkawinan walaupun sudah bercerai;
- Tidak ada hubungan kerja dengan menerima upah, kecuali UU menentukan lain;
- Mengkahadap ke persidangan;
- Diperiksa satu per satu;
- Mengucapkan Sumpah;
Syarat Materiil
- Menerangkan apa yang telah dilihat, didengar dan dialami sendiri;
- Diketahu sebab-sebab mengapa saksi mengetahui suatu peristwa yang akan diperiksa;
- Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan dari saksi sendiri;
- Saling bersesuaian satu sama lain;
- Tidak bertentangan dengan akal sehat
Pembuktian dengan saksi bagi pengadilan negeri, terutama
dalam pemeriksaan perkara perdata antara orang-orang Indonesia asli adalah
sangat penting sekali, karena pada umumnya perbuatan–perbuatan hukum di
kalangan orang-orang Indonesia asli tidak dibuat tulisan, karena satu sama lain
saling mempercayai. Oleh sebab itu bilamana terjadi sengketa maka pihak-pihak
yang bersengketa (berpekara) berusaha mengajukan saksi-saksi yang dapat
memberikan keterangan yang membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang
diajukan di muka persidangan.
2.
Orang yang Tidak Dapat di Dengar
Sebagai Saksi
Orang-orang
yang tidak dapat di dengar sebagai saksi (pasal 145 (1) HIR) adalah :
(a) Keluarga sedarah / keluarga karena
perkawinan menurut keturunan lurus dari salah satu pihak.
(b) Suami atau istri dari salah satu
pihak meskipun sudah bercerai.
(c) Anak-anak yang belum berusia 15
(lima belas) tahun.
(d) Orang-orang gila meskipun
kadang-kadang ingatannya terang atau sehat.
Alasan
pembentukan UU menentukan mereka tidak dapat didengar sebagai saksi yaitu:
(a) Mereka pada umunya dianggap tidak
cukup objektif apabila didengar sebagai saksi
(b) Untuk menjaga hubungan kekeluargaan
yang baik, yang mungkin akan retak apabila mereka memberikan kesaksian
(c) Untuk mencegah timbulnya tekanan
batin bagi mereka setelah memberikan kesaksian
Keluarga
sedarah dan keluarga karena perkawinan tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam
perkara tentang perjanjian pekerjaan. (pasal 145 (2) HIR)
3.
Saksi yang di Panggil Tidak Mau
Datang dalam Persidangan
Menurut
rangkaian pasal-pasal 140, 141, 148 HIR/166, 167, 176 RBg, seseorang yang tidak
karena sesuatu alasan yang sah yang tidak memenuhi panggilan menjadi saksi
dapat dikenakan sanksi-sanksi sebagai berikut :
Pasal 140
(1) Jika
saksi yang dipanggil demikian itu tidak datang pada hari yang ditentukan itu,
maka dihukum oleh pengadilan negeri membayar segala biaya yang dikeluarkan
dengan sia-sia itu.
(2) Ia
akan dipanggil sekali lagi atas ongkos sendiri.
Maksudnya
yaitu saksi dihukum membayar ongkos-ongkos juru sita yg melakukan pekerjaannya (antara
lain memanggil saksi) mendapat uang jalan. Ini merupakan ongkos panggilan yang
dalam hal ini di bebankan kepada saksi yang enggan datang di persidangan.
Pasal 141
(1) Jika
saksi yang dipanggil kedua kalinya itu tidak juga datang maka ia dapat dihukum
buat kedua kalinya membayar biaya yang dikeluarkan dengan sia-sia itu, dan akan
mengganti kerugian yang terjadi pada kedua belah pihak oleh karena ke tidak
datangnya itu.
(2) Kemudian
ketua dapat memerintahkan, supaya saksi yang tidak datang itu oleh pegawai umum
dibawa menghadap pengadilan negeri untuk memenuhi kewajibannya.
Maksudnya,
dalam pasal ini jika saksi tidak mau datang lagi, maka hukumannya di perberat
dengan membayar ganti kerugian, jika pihak yang berperkara menderita kerugian
akibat ketidakhadiran saksi tersebut. Dan jika saksi yang tidak mau datang
tersebut memang sangat di butuhkan, maka sidang akan di tunda lagi dan ketua
dapat memerintahkan supaya saksi dibawa ke hadapan pengadilan dengan cara
dipaksa oleh polisi untuk memenuhi kewajibannya.
Pasal 142
Jika saksi yang tidak datang itu
membuktikan, bahwa ia tidak dapat datang memenuhi pengadilan karena sebab yang
syah, maka setelah diberikan keterangannya itu, ketua wajib menghapuskan
hukuman yang dijatuhkan padanya.
Maksudnya,
dalam pemeriksaan di depan sidang, selain ditanyakan tentang hal-hal atau
peristiwa yang dibutuhkan, hakim juga menanyakan kepada saksi mengapa dirinya
tidak hadir dalam persidangan terdahulu. Apabila ketidakhadiran saksi pada
persidangan disebabkan oleh alasan menurut hukum (seperti sakit, atau
keluarganya meninggal dunia), maka hakim membebaskan saksi yang bersangkutan
dari sanksi membayar ongkos panggilan dang anti rugi.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Saksi
ialah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi
syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat,
dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan
tersebut. Bukti saksi diatur dalam pasal 168 – 172 HIR. Dalam pengertianya, saksi merupakan
orang yang mendengar, melihat, dan mengalami suatu peristiwa hukum yang
merupakan syarat materiil saksi sebagai suatu alat bukti. Seperti apa yang jituangkan
dalam Pasal 171 HIR, Pasal 1907 KUH Perdata bahwa keterangan saksi
yang diberikan harus berdasarkan sumber pengetahuan yang jelas, dimana sumber
pengetahuan yang dibenarkan hukum mesti merupakan pengalaman, penglihatan, dan
pendengaran yang bersifat langsung dari kejadian atau peristiwa yang terjadi
yang di sengketakan para pihak di pengadilan. Kesaksian adalah kepastian yang
diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan
dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah
satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan. Jadi
keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah ia
alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir
tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.
Keterangan saksi tentang sesuatu
peristiwa harus diberikan secara lisan dan pribadi di persidangan. Jadi harus
disampaikan sendiri oleh saksi, tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, serta
tidak boleh disampaikan secara tertulis, karena keterangan tertulis dari pihak
ketiga merupakan alat bukti tulisan. Ketentuan ini ditafsirkan dari pasal 140
ayat (1) HIR/166 ayat (1) RBg yang menentukan bahwa terhadap saksi yang telah
dipanggil dengan patut dan tidak datang diberi sanksi dan terhadap saksi yang
telah datang dipersidangan yang enggan memberi keterangan juga dapat diberi
sanksi.
DAFTAR PUSTAKA
H. Riduan
Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya
Bakti Bandung, Cet. V, 2009
http://id.shvoong.com/law-and-politics/criminal-law/2171410-alat-bukti-saksi/#ixzz1QzgAvhsH
Aza,
Pembuktian dan Alat-alat Bukti, artikel diposkan pada 9 Desember 2010
dari
http://po-box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-bukti.html.
Harahap, M. Yahya, Hukum
Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Mertokusumo,
Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,
2006.
Muljono, Wahju, Teori
dan Praktik Peradilan Perdata di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Subekti, Pokok-pokok
Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa 2003.
Subekti dan
Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya
Paramita, 2004.
http://ariessuryabuana.blogspot.com/2011/08/proses-pemeriksaan-perkara-perdata.html
Tw, Abdullah, Alat
Bukti Dalam Perakara Perdata, artikel diposkan pada 6 Mei 2010 dari
http://advosolo.wordpress.com/2010/05/06/alat-bukti-dalam-perkara-perdata/.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar