"JANGAN LUPA LIHAT ARTIKEL KITA YANG LAIN JUGA GAES"

Selasa, 07 Juli 2015

MAKALAH HUKUM ACARA PERDATA ALAT BUKTI SAKSI DALAM PERSIDANGAN



ALAT BUKTI SAKSI DALAM PERSIDANGAN


BAB I
PENDAHULUAN

1.      LATAR BELAKANG
Kesaksian adalah Kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang di panggil di persidangan. Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.
Saksi dipanggil dimuka sidang untuk memberi tambahan keterangan untuk menjelaskan peristiwanya, sedangkan seorang ahli dipanggil untuk membantu hakim dalam menilai peristiwanya. Mengenai alat bukti kesaksian, diatur dalam :
1.    HIR            : Pasal 139 – 152, 168 – 172
2.    Rbg : Pasal 165 – 179
3.    BW             : Pasal 1902 – 1912
Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895 KUH Perdata yang berbunyi ”pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Jadi prinsipnya, alat bukti saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila UU sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan dengan akta, barulah alat bukti saksi tidak dapat diterapkan.
Alat bukti saksi yang diajukan pada pihak menurut Pasal 121 ayat (1) HIR merupakan kewajiban para pihak pihak yang berperkara. Akan tetapi apabila pihak yang berkepentingan tidak mampu menghadirkan secara sukarela, meskipun telah berupaya dengan segala daya, sedang saksi yang bersangkutan sangat relevan, menurut Pasal 139 ayat (1) HIR hakim dapat menghadirkannya sesuai
dengan tugas dan kewenangannya, yang apabila tidak dilaksanakan merupakan tindakan unproffesional conduct.

2.      RUMUSAN MASALAH

a.       Apa Pengertian Alat Bukti Saksi?
b.      Orang yang Tidak Dapat di Dengar (di Tolak) Sebagai Saksi?
c.       Bagaimana Hukumnya jika Saksi yang di Panggil Tidak Mau Datang dalam Persidangan?



BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Saksi
Saksi ialah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Bukti saksi diatur dalam pasal 168 – 172 HIR. Dalam pengertianya, saksi merupakan orang yang mendengar, melihat, dan mengalami suatu peristiwa hukum yang merupakan syarat materiil saksi sebagai suatu alat bukti. Seperti apa yang dituangkan dalam  Pasal 171 HIR, Pasal 1907 KUH Perdata bahwa keterangan saksi yang diberikan harus berdasarkan sumber pengetahuan yang jelas, dimana sumber pengetahuan yang dibenarkan hukum mesti merupakan pengalaman, penglihatan, dan pendengaran yang bersifat langsung dari kejadian atau peristiwa yang terjadi yang di sengketakan para pihak di pengadilan.
Namun, dalam praktek yang senyatanya tidak jarang seorang saksi yang bersaksi atas sumber atau cerita dari keterangan yang disampaikan orang lain. Keterangan yang seperti ini tentu bertentangan atau tidak sejalan dengan apa yang telah diatur dalam Pasal 171 HIR dan 1907 KUH Perdata. Sehingga, keterangan saksi yang bersumber dari keterangan orang lain dikatakan keterangan yang hanya berkualitas sebagai testimonium de auditu, yaitu keterangan seorang saksi yang hanya bersumber atau berdasar pada keterangan yang didapatkan dari orang lain tanpa mendengar, melihat, dan mengalami peristiwa hukumnya.
Keterangan saksi de auditu pada hakekatnya tidak dapat dikatakan sebagai alat bukti karena syarat materiil sebagai saksi tidak terpenuhi sehingga tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, namun dalam prakteknya saksi de auditu juga dapat di pertimbangkan keteranganya atau dapat diakui secara eksepsional, seperti contoh dalam Putusan MA No. 239 K/Sip/1973. Dalam kasus tersebut, baik PN, PT, dan MA membenarkan kesaksian de auditu sebagai suatu alat bukti dengan pertimbangan sebagai berikut :
Bahwa keterangan saksi-saksi diatas pada umumnya adalah menurut pesan, tetapi haruslah pula dipertimbangkan bahwa hampir semua kejadian atau perbuatan atau peristiwa hukum yang terjadi dahulu tidak mempunyai surat, tetapi adalah berdasarkan pesan turun-temurun, sedangkan saksi-saksi yang langsung menghadapi perbuatan hukum itu dulunya tidak ada lagi yang diharapkan hidup sekarang, sehingga dalam hal demikian pesan turun-temurun itulah yang dapat diharapkan sebagai keterangan dan menurut pengetahuan Hakim Majelis sendiri pesan-pesan seperti ini oleh masyarakat Batak pada umumnya di anggap berlaku dan benar;
    • dalam pada itu harus pula diperhatikan tentang dari siapa pesan itu diterima dan orang yang memberi keterangan bahwa dialah yang menerima pesan tersebut;
    • oleh karena itu, dari sudut inilah dinilai keterangan saksi-saksi tersebut.
Dalam putusan diatas, pengecualian terhadap saksi de auditu dilakukan karena saksi yang diharapkan dapat menjadi sumber terpercaya karena mengalami sendiri peristiwanya, sudah tidak ada lagi atau meninggal dunia padahal peristiwa hukum tersebut tidak di abadikan dalam bentuk tulisan dalam bentuk surat atau semacamnya, disisi lain saksi yang memberikan keterangan mendapat pesan dari pelaku yang melakukan peristiwa hukumnya secara langsung sehingga dalam putusan ini, MA membenarkan keterangan dari saksi de auditu dengan syarat saksi de auditu  tersebut harus terdiri dari beberapa orang yang keteranganya saling berhubungan satu sama lainya.
Ada 3 kewajiban bagi seseorang yang dipanggil sebagai saksi, yaitu :
1.    Kewajiban untuk menghadap (Pasal 140, 141 HIR, Pasal 166, 167 Rbg)
2.    Kewajiban untuk bersumpah (Pasal 147 HIR, Pasal 175 Rbg, Pasal 1911 BW jo. 4 St. 1920 No.69).
Sumpah promissoir adalah sumpah yang diucapkan sebelum memberi kesaksian dan berisi janji untuk menerangkan yang sebenarnya .
Sumpah confirmatoir adalah sumpah sebagai alat bukti.
3.    Kewajiban untuk memberi keterangan. Berdasarkan Putusan PN Cianjur No. 108/Pdt/1969, tanggal 27 Januari 1970, menyatakan bahwa hakim karena jabatannya dapat memanggil saksi-saksi yang tidak diajukan oleh para pihak.
Syarat Formil dan Syarat Materiil Saksi
Syarat Formil
  1. Orang yang dimintai keteranganya sebagai saksi harus cakap (sudah dewasa menurut UU, tidak gila, tidak dalam pengampuan, / dengan kata lain dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya);
  2. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah maupun semenda dengan salah satu pihak, kecuali UU menentukan lain, termasuk hubungan perkawinan walaupun sudah bercerai;
  3. Tidak ada hubungan kerja dengan menerima upah, kecuali UU menentukan lain;
  4. Mengkahadap ke persidangan;
  5. Diperiksa satu per satu;
  6. Mengucapkan Sumpah;
Syarat Materiil
  1. Menerangkan apa yang telah dilihat, didengar dan dialami sendiri;
  2. Diketahu sebab-sebab mengapa saksi mengetahui suatu peristwa yang akan diperiksa;
  3. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan dari saksi sendiri;
  4. Saling bersesuaian satu sama lain;
  5. Tidak bertentangan dengan akal sehat
Pembuktian dengan saksi bagi pengadilan negeri, terutama dalam pemeriksaan perkara perdata antara orang-orang Indonesia asli adalah sangat penting sekali, karena pada umumnya perbuatan–perbuatan hukum di kalangan orang-orang Indonesia asli tidak dibuat tulisan, karena satu sama lain saling mempercayai. Oleh sebab itu bilamana terjadi sengketa maka pihak-pihak yang bersengketa (berpekara) berusaha mengajukan saksi-saksi yang dapat memberikan keterangan yang membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang diajukan di muka persidangan.

2.      Orang yang Tidak Dapat di Dengar Sebagai Saksi
Orang-orang yang tidak dapat di dengar sebagai saksi (pasal 145 (1) HIR) adalah :
      (a)    Keluarga sedarah / keluarga karena perkawinan menurut keturunan lurus dari salah satu pihak.
      (b)   Suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai.
      (c)    Anak-anak yang belum berusia 15 (lima belas) tahun.
      (d)   Orang-orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang atau sehat.
Alasan pembentukan UU menentukan mereka tidak dapat didengar sebagai saksi yaitu:
      (a)    Mereka pada umunya dianggap tidak cukup objektif apabila didengar sebagai saksi
      (b)   Untuk menjaga hubungan kekeluargaan yang baik, yang mungkin akan retak apabila mereka memberikan kesaksian
(c)    Untuk mencegah timbulnya tekanan batin bagi mereka setelah memberikan kesaksian
Keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara tentang perjanjian pekerjaan. (pasal 145 (2) HIR)
3.      Saksi yang di Panggil Tidak Mau Datang dalam Persidangan
Menurut rangkaian pasal-pasal 140, 141, 148 HIR/166, 167, 176 RBg, seseorang yang tidak karena sesuatu alasan yang sah yang tidak memenuhi panggilan menjadi saksi dapat dikenakan sanksi-sanksi sebagai berikut :

Pasal 140
(1)   Jika saksi yang dipanggil demikian itu tidak datang pada hari yang ditentukan itu, maka dihukum oleh pengadilan negeri membayar segala biaya yang dikeluarkan dengan sia-sia itu.
(2)   Ia akan dipanggil sekali lagi atas ongkos sendiri.
Maksudnya yaitu saksi dihukum membayar ongkos-ongkos juru sita yg melakukan pekerjaannya (antara lain memanggil saksi) mendapat uang jalan. Ini merupakan ongkos panggilan yang dalam hal ini di bebankan kepada saksi yang enggan datang di persidangan.
Pasal 141
(1)   Jika saksi yang dipanggil kedua kalinya itu tidak juga datang maka ia dapat dihukum buat kedua kalinya membayar biaya yang dikeluarkan dengan sia-sia itu, dan akan mengganti kerugian yang terjadi pada kedua belah pihak oleh karena ke tidak datangnya itu.
(2)   Kemudian ketua dapat memerintahkan, supaya saksi yang tidak datang itu oleh pegawai umum dibawa menghadap pengadilan negeri untuk memenuhi kewajibannya.
Maksudnya, dalam pasal ini jika saksi tidak mau datang lagi, maka hukumannya di perberat dengan membayar ganti kerugian, jika pihak yang berperkara menderita kerugian akibat ketidakhadiran saksi tersebut. Dan jika saksi yang tidak mau datang tersebut memang sangat di butuhkan, maka sidang akan di tunda lagi dan ketua dapat memerintahkan supaya saksi dibawa ke hadapan pengadilan dengan cara dipaksa oleh polisi untuk memenuhi kewajibannya.
Pasal 142
Jika saksi yang tidak datang itu membuktikan, bahwa ia tidak dapat datang memenuhi pengadilan karena sebab yang syah, maka setelah diberikan keterangannya itu, ketua wajib menghapuskan hukuman yang dijatuhkan padanya.
Maksudnya, dalam pemeriksaan di depan sidang, selain ditanyakan tentang hal-hal atau peristiwa yang dibutuhkan, hakim juga menanyakan kepada saksi mengapa dirinya tidak hadir dalam persidangan terdahulu. Apabila ketidakhadiran saksi pada persidangan disebabkan oleh alasan menurut hukum (seperti sakit, atau keluarganya meninggal dunia), maka hakim membebaskan saksi yang bersangkutan dari sanksi membayar ongkos panggilan dang anti rugi.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Saksi ialah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Bukti saksi diatur dalam pasal 168 – 172 HIR. Dalam pengertianya, saksi merupakan orang yang mendengar, melihat, dan mengalami suatu peristiwa hukum yang merupakan syarat materiil saksi sebagai suatu alat bukti. Seperti apa yang jituangkan dalam  Pasal 171 HIR, Pasal 1907 KUH Perdata bahwa keterangan saksi yang diberikan harus berdasarkan sumber pengetahuan yang jelas, dimana sumber pengetahuan yang dibenarkan hukum mesti merupakan pengalaman, penglihatan, dan pendengaran yang bersifat langsung dari kejadian atau peristiwa yang terjadi yang di sengketakan para pihak di pengadilan. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan. Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.
Keterangan saksi tentang sesuatu peristiwa harus diberikan secara lisan dan pribadi di persidangan. Jadi harus disampaikan sendiri oleh saksi, tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, serta tidak boleh disampaikan secara tertulis, karena keterangan tertulis dari pihak ketiga merupakan alat bukti tulisan. Ketentuan ini ditafsirkan dari pasal 140 ayat (1) HIR/166 ayat (1) RBg yang menentukan bahwa terhadap saksi yang telah dipanggil dengan patut dan tidak datang diberi sanksi dan terhadap saksi yang telah datang dipersidangan yang enggan memberi keterangan juga dapat diberi sanksi.


  
DAFTAR PUSTAKA
H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet. V,  2009

http://id.shvoong.com/law-and-politics/criminal-law/2171410-alat-bukti-saksi/#ixzz1QzgAvhsH

Aza, Pembuktian dan Alat-alat Bukti, artikel diposkan pada 9 Desember 2010 dari http://po-box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-bukti.html.

Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2006.

Muljono, Wahju, Teori dan Praktik Peradilan Perdata di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa 2003.

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.

http://ariessuryabuana.blogspot.com/2011/08/proses-pemeriksaan-perkara-perdata.html

Tw, Abdullah, Alat Bukti Dalam Perakara Perdata, artikel diposkan pada 6 Mei 2010 dari

http://advosolo.wordpress.com/2010/05/06/alat-bukti-dalam-perkara-perdata/.

https://rahmatyudistiawan.wordpress.com/2013/01/23/perang-salib-dan-invasi-mongol-oleh-rahmat-yudistiawan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar